Wednesday, January 11, 2017

Ilmu perpustakaan Prinsip Komunikasi Dalam Al-Quran Qaulan Sadida (Qs Al-Ahzab 70 : Annisa 9)

      1. MAKNA KATA KOMUNIKASI DALAM AYAT
Qaulan Sadida (QS. An-Nisa ayat 9, Al-Ahzab ayat 70)











“Dan hendaklah takut kepada Tuhan orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka belum dewasa yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh alasannya itu hendaklah mereka bertakwa kepada Tuhan dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa: 9)

Abu Ja’far berkata: Pendapat yang representatif sebagai tafsir ayat tersebut ialah pendapat yang mengatakan bahwa makna firman Tuhan tersebut adalah,”Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan di belakang mereka belum dewasa yang lemah, yang mereka khawatirkan (anak-anak itu) akan terlantar bila mereka membagikan harta mereka semasa hidup, atau membagikannya sebagai wasiat dari mereka kepada keluarga mereka, belum dewasa yatim, dan orang-orang miskin. Oleh karena itu, mereka menyimpan harta mereka untuk belum dewasa mereka, karena mereka takut belum dewasa mereka akan terlantar sepeninggal mereka, di samping (karena kondisi) belum dewasa mereka itu (memang) lemah dan tidak bisa memenuhi tuntutan. Itulah sebabnya mereka harus memerintahkan orang yang mereka hadiri (maksudnya orang yang akan menunjukkan wasiat) ketika menunjukkan wasiat untuk kerabatnya, belum dewasa yatim, orang-orang miskin, dan yang lainnya supaya berlaku adil terhadap hartanya, takut kepada Allah, serta mengatakan perkataan yang benar, yaitu memberitahukan kepada orang yang akan menunjukkan wasiat ihwal apa-apa yang telah Tuhan bolehkan bagi dirinya, yaitu boleh menunjukkan wasiat, dan apa-apa yang telah Tuhan pilihkan untuknya yakni (harus menunjukkan wasiat tersebut kepada) orang-orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya dan syariat-syariat-Nya.

Pendapat tersebut paling representatif sebagai tafsir ayat tersebut daripada beberapa pendapat lainnya, karena alasan yang telah dikemukakan tadi, yaitu bahwa makna firman Allah,


”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”adalah, “Apabila kerabat, anak yatim, dan orang miskin, hadir sewaktu pembagian (harta), maka berilah mereka episode dari harta itu.”Makna ini sesuai dengan dalil-dalil yang telah kami kemukakan.

Apabila makna tersebut merupakan makna bagi firman Allah,

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin...” maka seharusnya firman Tuhan Ta’ala,

“Dan hendaklah takut kepada Tuhan orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang...” merupakan sebuah pembelajaran dari Tuhan kepada hamba-hambaNya dalam problem wasiat, yakni supaya diadaptasi dengan ketentuan yang telah Tuhan izinkan bagi mereka dalam masalah itu, alasannya firman Allah,

“Dan hendaklah takut kepada Tuhan orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang...” merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yang berbicara ihwal hukum wasiat. Dalam hal ini pendapat atau penafsiran yang telah kami kemukakan merupakan makna yang paling berpengaruh untuk firman Tuhan tersebut. Dengan demikian, menyamakan hukum yang terkandung dalam firman Tuhan tersebut (maksudnya walyakhsya...) dengan hukum yang terkandung dalam ayat sebelumnya ialah lebih baik karena makna keduanya hampir sama daripada menyamakan hukum dalam firman Tuhan tersebut kepada hukum yang terkandung dalam firman Tuhan yang lain, yang tidak ada kesamaan dalam hal makna.

Pengertian yang telah dikemukakan sebagai penafsiran firman Allah, “Dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar,” juga dikemukakan oleh orang-orang yang pendapatnya telah disebutkan pada awal penafsiran ayat ini.

Sebagaimana disebutkan dalam literatur-literatur Islam, memakan harta belum dewasa yatim memiliki efek di dunia dan akhirat. Di dunia, ayat ini mengisyarakatkan bahwa kerusakan yang disebabkannya hingga kepada anak keturunan; dan di akhirat, akan ada api neraka ( yang disebutkan dalam ayat berikutnya).

 Makna dari ayat ini mungkin merujuk kepada wasiat-wasiat atau pewarisan yang tidak wajar, bahwa mereka mewarisi atau menghabiskan semua harta yang mereka miliki tanpa memikirkan belum dewasa mereka yang masih kecil dan lemah, yang hidup dalam kemiskinan dan kemalangan setelah kematian mereka.
Sekali lagi, ayat ini bisa menjadi sebuah rekomendasi bagi mereka yang memiliki keturunan yang cacat, supaya dengan perencanaan yang tepat, mereka menjamin masa depan belum dewasa (yang cacat) tersebut.
(QS. Al-Ahzab: 70)





Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kau kepada Tuhan dan ucapkanlah perkataan yang benar.

Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman supaya selalu bertakwa kepada-Nya, supaya beribadah kepada-Nya seolah-olah mereka melihat-Nya, dan supaya mereka berkata dengan “Perkataan yang benar.” [70]. Yaitu perkataan yang lurus, tidak ada kebengkokan dan penyimpangan padanya. Tuhan Ta’ala menjanjikan kepada mereka, bahwa apabila mereka telah melaksanakan hal tersebut, niscaya Dia akan memberi jawaban kepada mereka. Tuhan Ta’ala akan memperbaiki amalan-amalan mereka, yaitu Dia akan menunjukkan taufik kepada mereka untuk mengerjakan amalan-amalan yang shahih, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu. Adapun dosa-dosa yang mungkin terjadi dari mereka pada masa yang akan datang, maka Tuhan Ta’ala akan mengilhamkan mereka untuk segera bertaubat darinya.

Ayat ini sudah sangat terang di tujukan kepada orang-orang beriman (kamu muslimin). Menganjurkan dan memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya yaitu menjauhi segala larangan dan menjalankan segala perintah Agama dengan sungguh-sungguh baik dalam keadaan lapang maupun susah.

Anjuran dan perintah dari Tuhan bahwa hendaknya kaum muslimin senantiasa mengatakan sesuatu secara jujur. Kewajiban mengatakan kebenaran walau terasa pahit dan hanya berkata ihwal suatu kebenaran. Tidak mengatakan sesuatu yang tidak berdasar apalagi berbohong, itu merupakan perbuatan yang mungkar

Jika 2 hal yang di sebut di atas benar-benar di laksanakan dengan hanya mengharap ridho Allah, niscaya (pasti) Tuhan akan melimpahkan kebaikan terhadap apa yang sudah kita amalkan dan insyaAllah menyempurnakan amalan kebaikan kita. Jika amalan2 baik kita diterima Tuhan tentunya amalan2 baik itu akan menghapus dosa2 kita dan juga insyaAllah akan menambah berat timbangan kebaikan kita di alam abadi kelak. Kita serahkan urusan itu sepenuhnya ke pada Tuhan AzzaWaJalla

Allah menginformasikan kepada kita bahwa siapa saja dari umat Nya yang menaati Nya dan menaati RasulNya (Nabi Muhammad) maka sebetulnya ia (umat) telah memperoleh kemenangan yang besar. Wujud dari kemenangan ini sangatlah bermacam-macam. Ada yang menang dari medan pertempuran, ada yang mendapatkan solusi dari segala persoalan, ada yang mendapat rezeki, kebahagiaan dan rahmat bisa juga kemenangan secara hakiki yaitu mendapatkan Surganya. Aamiin

2. TERAPKAN DALAM UNSUR-UNSUR KOMUNIKASI
a.       KOMUNIKATOR
Qaulansadida  menjelaskan bahwa pembicaraan komunikator harus benar (sesuai dengan Al Qur’an, sunah dan ilmu), jujur, lurus (menuju kebaikan dan kemaslahatan), tidak bohong, dan tidak berbelit-belit.
b.      KOMUNIKAN
Penerima (receiver) yang mendapatkan pesan dari komunikator, kemudian memahami, menerjemahkan dan akibatnya memberi respons. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah diadaptasi dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
c.       PESAN
QaulanSadida menurut pemaparan atau arti dari surat di atas yaitu suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
d.      MEDIA
Untuk menjelaskan sesuatu yang dimaksud diharapkan media yang dalam hal ini adalah  bahasa. Ungkapan al-Quran yang berbunyi' 'allamahul bayan' menurut para mufassir bermakna Tuhan telah mengajari insan kemampuan berbahasa. Hal ini juga ditegaskan oleh Tuhan dalam surat alBaqarah ayat 31 bahwa Tuhan telah mengajarkan nama-nama kepada Adam. Pengertian nama-nama pada ayat tersebut bermakna bahasa.
e.       EFEK
Merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan. Diimplentasikan dalam bentuk umpan balik (feedback) atau tindakan sesuai dengan pesan yang diterima.

3. TEORI KOMUNIKASI YANG SESUAI
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau memberikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.

Serta ada suatu pendapat dari seorang ilmuwan yaitu yang bernama; AlferdKorzybski, peletak dasar teori general semantis menyatakan bahwa penyakit jiwa, baik individual maupun sosial, timbul karena penggunaan bahasa yang tidak benar. Ada beberapa cara menutup kebenaran dengan komunikasi. Pertama, menggunakan kata-kata yang sangat abstrak, ambigu, atau menjadikan penafsiran yang sangat berlainan apabila kita tidak baiklah dengan pandangan kawan kita. Kedua, menciptakan istilah yang diberi makna lain berupa eufemisme atau pemutarbalikan makna terjadi bila kata-kata yang digunakan sudah diberi makna yang sama sekali bertentangan dengan makna yang lazim.

Menurut BarrieHopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berafiliasi baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapisituasi tertentu.

Menurut Brolyazin (1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi dari aneka macam pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang bisa hidup mandiri.

Menurut Kent Davis (2000:1) kecakapan hidup ialah “manual pribadi” bagi badan seseorang kecakapan ini membantu peserta didik berguru bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya, bekerjasama secara baik dengan orang lain, membuat keputusan yang logis, melindungi dirinya sendiri dan mencapai tujuan di dalam kehidupannya.

4. METODE
Metode atau cara penyampaiannya, yakni dengan wahana-wahana yang baik, positif (allatihiyaahsan), semacam diskusi, bertukar gagasan, sharing, “curhat”, dan lain sebagainya, sehingga memungkinkan anak untuk berekspresi, berpikir, dan berpendapat secara bebas, kreatif, dan mandiri.

Dengan cara ini, anak akan terlatih untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginannya, minat dan bakatnya, bukan lagi semata-mata bergantung pada pikiran dan tindakan orang lain. Anak akan segera memasuki kedewasaan, dan dalam pikirannya dia sudah mengidealkan untuk menjadi “manusia yang sesungguhnya”, yang mempunyai pilihan-pilihan sikap dan tindakan yang berdikari dan bertanggung jawab. Sebab, fase berakal balig juga terkait erat dengan tamyiz, bahwa si anak kini sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan karenanya kini dia disebut mukallaf, “yang terbebani”, artinya bahwa baik atau buruk perbuatannya, surga atau neraka ganjarannya, ia sendiri yang akan bertanggungjawab, baik di hadapan insan atau Tuhan kelak.

Itulah tujuh tahapan, atau momentum, QaulanSadida, yang bersinergi secara kronologis dari sejak “di atas ranjang” hingga belum dewasa kita menggapai keremajaan. Semoga belum dewasa kita menjadi “generasi yang kuat” (dzurriyyahqawiyyah), generasi yang berkarakter, bukan “generasi yang lemah” (dzurriyyatandli’afan), generasi yang tidak berkarakter sebagaimana dikhawatirkan Al-Qur’an dalam surat al-Nisa’: 9 di atas. Amin. Wallahua’lam.

Metode ceramah, maka didapatkan adanya perhatian terhadap cara penyampaian dalam pembelajaran, menggunakan kata-kata yang benar, didengar, dan menjadi perhatian, alasannya kata-kata bagaikan pedang.

Metode yang efektif dalam memberikan pesan kebenaran ini dikala kemungkaran telah merajalela. Teringat lagi firman-Nya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan dengan pesan tersirat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan, Dialah yang lebih mengetahui ihwal siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. AnNahl: 125).
Maka dengan demikian menjadi cukup jelas, mari kita menyeru dengan hikmah, dan di bawah ini akan saya paparkan sedikit ihwal metode memberikan kebenaran dengan pesan tersirat ini.
Mengutip taujih dari K.HHilmiAminuddin dalam Majalah Al Intima’ edisi Februari 2012 kemarin. Di sana dia mengungkapkan bahwa memperhatikan idealitas, rasionalitas dan realitas dalam berdakwah itu sangat penting. Memperhatikan realitas saja akan melahirkan pragmatis, memperhatikan idealitas saja akan menghasilkan sikap perfeksionis tetapi tidak bisa dilaksanakan, dan ketika memperhatikan rasionalitas saja akan menghasilkan sebuah teori tok, tidak lebih.
Kita sepatutnya harus dapat mengkomunikasikan rencana kita baik internal maupun eksternal. Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya terletak pada qudrahmuqotobah: qaulansadida atau kalimat yang tepat. Kalimat tersebut bisa saja bernilai tegas, lembut, sindiran, dan lain-lain. Namun patokannya hanya ada dua:
  • Khatibunnas ‘ala qadriuqulihim (Berbicaralah kepada insan sesuai dengan kadar intelektualitasnya)
  • Khatibunnas ‘ala lughotihim (Berbicaralah dengan insan sesuai dengan gaya bahasa mereka)


Sebagai seorang da’i tentunya kita harus memilih qaulansadida melalui pendekatan intelektual, budaya atau sosial. Pertama-tama akuilah keberadaannya, kemudian cari cara yang tepat untuk mendekatinya, dan sampaikan inti dari pesan kebenaran tersebut secara perlahan-lahan. Dalam Al Qur’an juga sudah mencontohkan beberapa seruan, yakni ada yaaayyuhannas dan juga yaaayyuhalladziinaaamanu. Dengan pemilihan kata yang tepat akan bisa menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain, dan yang lebih besar lagi, ampunan dari Tuhan SubhanahuWata’ala.
WallahuA’lamBisshowab.

 5.  TEKNIK
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa komunikasi efektif terjadi apabila suatu pesan yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi. Karena itu, dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi lisan dalam forum formal, diharapkan langkah-langkah yang tepat. Langkah-langkah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Memahami maksud dan tujuan berkomunikasi.
2. Mengenali komunikan.
3. Berorientasi pada tema komunikasi.
4. Menyampaikan pesan dengan jelas.
5. Menggunakan alat bantu yang sesuai.
6. Menjadi pendengar yang baik.
7. Memusatkan perhatian.
8. Menghindari terjadinya gangguan.
9. Membuat suasana menyenangkan.
10. Memanfaatkan bahasa badan dengan benar.

6. KONTEKS KOMUNIKASI
Perkataan QaulanSadida diungkapkan Al-Quran dalam konteks pembicaraan mengenai wasiat. Menurut beberapa jago tafsir menyerupai Hamka, At-Thabari, Al- Baghawi, Al-Maraghi dan Al-Buruswi bahwa QaulanSadida dari segi konteks ayat mengandung makna kekhawatiran dan kecemasan seorang pemberi wasiat terhadap anak-anaknya yang digambarkan dalam bentuk ucapan-ucapan yang lemah lembut (halus), jelas, jujur, tepat, baik, dan adil. Lemah lembut artinya cara penyampaian menggambarkan kasih sayang yang diungkapkan dengan kata-kata yang lemah lembut. Jelas mengandung arti terang sehingga ucapan itu tak ada penafsiran lain. Jujur artinya transparan, apa adanya, tak ada yang disembunyikan.

QaulanSadida berarti jelas, jernih, terang. Dalam Al-Quran, konteks qaulansadida diungkapkan pada pembahasan mengenai wasiat (QS an-Nisa [4]: 9) dan ihwal buhtan (tuduhan tanpa bukti) yang dilakukan kaum Nabi Musa kepada Nabi Musa (QS al-Ahzab [33]: 70).

Dari kedua konteks ayatnya, qaulansadida merupakan perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan pendengar, dan perkataan yang benar tidak mengada-ada (buhtan: tuduhan tanpa bukti).
Serta komunikasi didalam bahasa Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan menggunakan kata-kata baku yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).


Ungkapan qaulansadida dalam al-Quran terdapat pada dua tempat, yaitu pada surat  an-Nisa 9 dan al-Ahzab 70. Perkataan qaulansadida diungkapkan al-Quran dalam konteks pembicaraan mengenai wasiat. Hamka (1987:274) menafsirkan kata qaulansadida berdasarkan konteks ayat, yaitu dalam konteks mengatur wasiat. Untuk itu, orang yang memberi wasiat harus menggunakan kata-kata yang terang dan jitu; tidak
meninggalkan keragu-raguan bagi orang yang ditinggalkan. Sedangkan ketika dia menafsirkan qaulansadida pada Q.Sal-Ahzab dia berkata bahwa ungkapan tersebut bermakna ucapan yang tepat yang timbul dari hati yang bersih, alasannya ucapan ialah gambaran dari apa yang ada di dalam hati. Orang yang mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti orang lain menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki jiwa yang tidak jujur. Rahmat (1994:77) mengungkap makna qaulansadida dalam arti pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak sombong, tidak berbelit-belit. Senada dengan itu, at-Tabari (1988:Juz III:273) menafsirkan kata qaulansadida dengan makna adil. Al Buruswi (1996:Juz IV:447) menyebutkan qaulansadida dalam konteks tutur kata kepada anak anak yatim yang harus dilakukan dengan cara yang lebih baik dan penuh kasih sayang, menyerupai kasih sayang kepada anak sendiri.

Dari kajian tersebut dapat ditarik beberapa prinsip tindak tutur qurani, yaitu
bahwa ucapan seseorang mestilah memiliki nilai-nilai sbb: 1) kebenaran,
2) kejujuran,3)keadilan, 4) kebaikan, 5) lurus, 6) halus, 7) sopan, 8) pantas,
9) penghargaan, 10)khidmat, 11) optimisme, 12) indah, 13) menyenangkan,
14) logis, 15) fasih, 16) terang,17) tepat, 18) menyentuh hati, 19) selaras,
20) mengesankan, 21) tenang, 22) efektif, 23)lunak, 24) dermawan,
25) lemah lembut, dan 26) rendah hati.

Daftar Pustaka

----------------  Al Quranul Karim
AbdalBaqi, Muhammad F. (1988) Al-Mu’jamal-Mufahraslialfadzal-quranal-karim, Mesir: Dar elHadits.
Al-Asfahany. (t.t) Mu’jammufradatialfadzal-Quran, Beirut: Dar el-Fikr.
Al-Baghawy, Muhammad (t.t) Tafsir al-AhkamKhazin, Beirut: Al-Maktabahat-
Tijariyah.
Al-Buruswi, Ismail H. (1996). Terjemah Tafsir Ruhul Bayan Juz 5. Bandung: CV
Diponegoro
Chaer, Abdul (1994) Linguistik Umum, Rineka Cipta : Jakarta
Fatimah, T., (1999) Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Eresco : Bandung
Hamka, (1987) Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Bulan Bintang.
Maraghi, Ahmad Musthofa (1971) Tafsir al-Maraghy, DarulFikr : beirut.
Pateda, Mansur (1989) Semantik Leksikal, Nusa Indah : Flores
Shiddiqie, T.M.Hasbi (1977) Tafsirul Bayan I dan II, Al Ma’arif : Bandung
Thabari, Abu ja’far bin jarir (1988) Jami’ul Bayan fita’wiliayyil Quran, DarulFikr: Beirut.
Tarigan, Henry Guntur (1993) Pengantar Semantik, Angkasa : Bandung

Artikel Terkait

Ilmu perpustakaan Prinsip Komunikasi Dalam Al-Quran Qaulan Sadida (Qs Al-Ahzab 70 : Annisa 9)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email